Final Task S1: BAB 4 (not finished yet)

BAB 4

PEMBAHASAN

4.1 Akun Penjualan dan Piutang yang Terdapat pada PT MC

Seperti yang sudah pernah Penulis jelaskan sekilas dalam BAB 1 Pendahuluan, dalam BAB 4 ini Penulis akan menjelaskan secara lebih rinci lagi mengenai akun penjualan yang terdapat di PT MC. Sudah dikatakan sebelumnya bahwa akun ini bisa terjadi karena adanya suatu transaksi. Sebagai permulaan Penulis akan menjelaskan tentang nature atau asal mula dari akun ini, transaksi seperti apa yang bisa diklasifikasikan dalam akun penjualan. Penjualan di PT MC meliputi segala jenis transaksi penjualan barang yang dilakukan oleh Perwakilan Usaha atau Distribution Centre pada Anggota atau Non-Anggota dari MLM MC. Pemindahan barang dari PT MC ke gudang DC belum bisa diklasifikasikan sebagai penjualan oleh MC karena barang yang diserahkan oleh PT MC pada DC sifatnya masih merupakan barang konsinyasi. Tugas Anggota (pihak yang berada di bawah DC) beserta anggota dibawahnya lagi yang disebut sebagai downliner selain untuk mempromosikan dan menjual barang yang ada di gudang DC-nya, juga merekrut orang baru untuk dijadikan anggota, yang bisa menjadi downliner-nya lagi. Untuk menjadi anggota baru dari MLM ini, maka orang baru tersebut harus membeli sejumlah paket tertentu yang berisi alat-alat promosi serta suplemen kesehatan yang merupakan produk utama dari PT MC, selain itu anggota juga harus membayar uang pendaftaran. Uang pendaftaran serta hasil penjualan alat-alat bantu promosi seperti buku catalog, nota penjualan sementara, brosur, dan lainnya tidak akan dimasukkan dalam akun penjualan, melainkan masuk ke dalam akun pendapatan lain-lain. Jadi sudah jelas sekarang, pendapatan yang diakui dan diklasifikasikan kedalam akun penjualan di PT MC hanyalah pendapatan yang didapat dari hasil menjual produk utama PT MC yaitu suplemen kesehatan ataupun produk perawatan kecantikan.

Untuk membantu Penulis menjelaskan secara lebih rinci mengenai alur transaksi hingga terjadinya akun penjualan ini, maka Penulis akan menggambarkan flowchart yang didapat dari SOP Penjualan PT MC. Untuk lebih memudahkan maka Penulis akan membagi alur transaksi hingga terjadinya penjualan ini kedalam beberapa bagian:

1. Transaksi Permintaan Pengiriman Barang

2. Transaksi pengiriman barang

3. Transaksi penjualan oleh anggota

4. Transaksi pelaporan penjualan yang terjadi tiap bulan

5. Transaksi penerimaan laporan penjualan dari DC

Hal yang perlu digarisbawahi lagi, dalam setiap terjadinya transaksi yang menimbulkan akun penjualan, maka secara otomatis akan timbul pula akun piutang dagang, jadi dalam pembahasan mengenai akun piutang dagang kelak penulis tidak akan menjelaskan alur transaksinya lagi karena sudah sangat terkait dengan transaksi dalam akun penjualan.

4.2.1 Akun Penjualan yang Terdapat pada PT MC

4.2.2 Akun Piutang yang Terdapat pada PT MC

4.3 Gambaran Umum Mengenai Audit Terhadap PT MC

4.3.1 Prosedur Audit Akun Penjualan

4.3.2 Prosedur Audit Piutang

4.4 Kesimpulan Auditor atas Kewajaran Akun Penjualan dan Piutang pada PT MC

Final Task S1: BAB 3

BAB 3

LANDASAN TEORI

3. 1. Pengertian dari Perusahaan Multi Level Marketing

Multi Level Marketing adalah salah satu jalur alternatif bagi perusahaan untuk mendistribusikan produk dan jasanya ke pasaran. Selain MLM ada beberapa jenis alternatif untuk mendistribusikan produk, seperti penjualan melalui supermarket, toko retail, door to door sales dan lain-lain yang kesemuanya itu biasa dikenal sebagai jalur distribusi konvensional. Jika menggunakan jalur distribusi konvensional maka kita akan menemukan alur distribusi seperti berikut:

Pada setiap titik distribusi, masing-masing pelaku distribusi akan mengambil keuntungan, sehingga ketika berada di akhir konsumen, harga barang akan sangat mahal. Contohnya, Teh Botol sebenarnya dapat dibeli dengan modal Rp. 200, tetapi ketika sampai di tangan konsumen melalui pedagang eceran, di zaman sekarang harganya sudah mencapai Rp.3.000,00.

Namun berbeda dengan jalur distribusi pada umumnya, MLM menggunakan jalur distribusi :

MLM merupakan jalur distribusi langsung menuju konsumen dengan menggunakan distributor langsung. Oleh karena itu, MLM sering juga disebut model bisnis penjualan langsung. Jika dilihat dari sisi model bisnis, sebenarnya MLM merupakan model bisnis yang cost efficient dan efektif karena dapat memotong jalur distribusi, sehingga harga barang yang sampai di konsumen lebih murah. Ada beberapa alasan mengapa perusahaan memilih MLM untuk mendistribusikan produknya:

1. Biaya overhead yang rendah

Tidak seperti perusahaan retail, perusahaan MLM tidak perlu mengalokasikan dana yang besar dalam advertising untuk menarik customer. Sebagai penggantinya, dana dialihkan untuk memberikan komisi bagi distributor untuk memasarkan produk ke customer. Selain itu, perusahaan hanya perlu memberikan komisi bagi distributor berdasarkan hasil, yaitu dari persentasi dari produk yang terjual.

2. Biaya overhead distribusi yang rendah

Typical distribusi melalui retail menggunakan serangkaian regional, negara, kota, dan retailer lokal untuk mendistribusikan barang-barang. Masing-masing perlu mendapatkan keuntungan dan melakukan mark up harga dari barang. Jalur distribusinya sudah bisa cukup dijelaskan oleh gambar 3. 1 dan 3. 2 diatas.

3. Tingkat pertumbuhan yang tinggi

Perusahaan MLM yang diatur dengan baik bisa berkembang dengan tingkat pertumbuhan 20%, 50%, bahkan 100% tiap bulan.

4. Tim sales dan marketing yang termotivasi

Ada banyak sekali produk yang membanjiri pasaran. Dibutuhkan dana marketing yang besar untuk bisa memperoleh tempat di hati customer. Selain itu banyak produk yang membutuhkan penjelasan yang rinci dibandingkan dengan yang dapat dilakukan di iklan TV selama 30 detik. Bagi perorangan, MLM bisa memberikan kesempatan untuk mempunyai sumber penghasilan tambahan yang jika disertai dengan kerja keras, bisa menjadi sumber penghasilan yang cukup significant.

MLM adalah tentang “banyak orang melakukan bagiannya masing-masing yang sedikit”. Dalam MLM, Anggota tidak hanya mendapatkan komisi dari hasil penjualan Anggota secara langsung namun juga secara tidak langsung. Anggota mendapatkan juga komisi dari hasil penjualan orang yang Anggota bawa ke perusahaan dan juga dari hasil orang yang orang tadi bawa, dan juga dari hasil penjualan dari orang terakhir yang ia bawa. Dengan mendapatkan persentasi hasil dari banyak orang, penghasilan Anggota akan berkembang sampai hasil yang sangat besar. Sebagai ilustrasi, jika Anggota mendapatkan 5 orang yang serius mengembangkan bisnis dan masing-masing mempunyai hasil penjualan $100 per orang dengan komisi 5%, penghasilan Anggota adalah seperti dalam tabel berikut :

Level

Jumlah Anggota

Nilai Penjualan

Bonus

1

5

$ 500,00

$ 25,00

2

25

$ 2.500,00

$ 125,00

3

125

$ 12.500,00

$ 625,00

4

625

$ 62.500,00

$ 3.125,00

5

3125

$ 312.500,00

$ 15.625,00

6

15625

$ 1.562.500,00

$ 78.125,00

7

78125

$ 7.812.500,00

$ 390.625,00

Total

$ 488.275,00

Jadi, jika tiap orang bisa mendapatkan 5 orang, Anggota bisa mendapatkan hampir $500,000 per bulan. Namun itu adalah gambaran teorinya, ketika sudah mencapai tahap praktis, tentunya tidak sesederhana dan semudah itu untuk menjalankan bisnis ini bagi Anggota. Membutuhkan usaha dan waktu untuk membangun grup dalam perusahaan MLM. Anggota pun tidak bisa bekerja sendirian. Anggota tidak bisa merekrut 90.000 orang seorang diri. Tiap orang harus mencari 5 atas usaha sendiri dan tidak semua orang mau bekerja untuk mendapatkan 5 orang itu. Bisa dibilang jarang ada orang yang akan membangun group ideal seperti ini. Beberapa kaki di struktur downline akan tumbuh lebih cepat dari yang lain. Beberapa kaki akan tumbuh dengan lebih lambat. Jika Anggota tidak bekerja, Anggota tidak akan pernah memulai satu pun kaki yang akan tumbuh sesuai dengan yang Anggota inginkan. Itulah konsepnya. Banyak orang mengerjakan bagiannya yang kecil dan Anggota mendapatkan bagian dari setiap orang. Jika Anggota mempunyai inisiatif dan etos kerja untuk membangun group tersebut, Anggota bisa mendapatkan income yang cukup significant bahkan bisa menjadi kaya.

Yang perlu digarisbawahi adalah MLM bukanlah cara cepat untuk menjadi kaya. Diperlukan kerja keras dan kebanyakan orang tidak mau mengerjakan hal-hal yang diperlukan. Kebanyakan orang tidak akan pernah menjadi kaya, hanya beberapa saja yang akan berhasil. Walaupun demikian, selama Anggota memilih perusahaan yang benar dengan produk dan jasa yang baik, tingkat keberhasilan Anggota sepenuhnya tergantung pada Anggota.

Karena banyaknya misspreception yang berkembang di masyarakat mengenai bisnis MLM ini, tidak sedikit pihak yang menuding bahwa bisnis ini adalah semacam penipuan, illegal, haram, dan serentetan tuduhan amoral lainnya. Namun perlu kita ketahui lebih dalam lagi, sebenarnya MLM tidak bisa dikatakan baik atau buruk seperti halnya orang memandang sistem bisnis biasa. Buktinya hingga saat ini di Indonesia MLM dianggap legal dan tidak menyalahi aturan moral. Seperti halnya bisnis biasa (dunia korporat) bisa dijalankan secara baik dan bisa dijalankan dengan buruk. MLM juga demikian. Ada yg dijalankan dengan baik dan ada juga yang dijalankan dengan buruk. Jadi baik dan buruknya MLM tergantung bagaimana perusahaan didesain dan dijalankan oleh tim manajemen dan tim pemasar di lapangan.

Memang harus diakui ada juga perusahaan MLM yang tidak lebih dari sekadar penipuan, cara cepat menjadi kaya untuk pemilik dan segelintir kroninya. Beberapa di antaranya berusaha memanipulasi hukum dan menghindar dari hukum. Ada juga perusahaan MLM yang mempunyai produk yg sah secara hukum dan sudah berkecimpung dalam bisnis selama beberapa tahun tapi dijalankan secara salah, sedemikian sehingga banyak orang yang menjadi korban. Contoh, orang lanjut usia yangmenginvestasikan uang pensiun untuk membeli barang-barang yang memenuhi garasinya dan seterusnya. Banyak orang tentunya setuju bahwa perusahaan ini, setidaknya distributor yg menjalankan praktek-praktek tidak bertanggung-jawab, sama sekali tidaklah etis. Sebenarnya ada banyak perusahaan yang dijalankan dengan sah, legal, dan etis. Perusahaan-perusahaan tersebut mempunyai produk-produk yang baik, bermanfaat bagi pelanggan dan memberikan banyak orang peluang untuk memperbaiki kondisi keuangannya. Kubu Anti MLM sering menyatakan bahwa perusahaan MLM dan distributornya hanya menjual fantasi tidak realistis mengenai potensi penghasilan yang dapat diperoleh kepada prospek, yg pada kenyataannya hanya menggemukkan penghasilan upline. Pandangan ini bisa dimengerti namun mengabaikan satu hal penting yaitu bahwa setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk membangun group atau timnya sendiri seperti halnya upline-nya. Upline sudah bekerja keras, mungkin selama bertahun-tahun, untuk membangun downline yang sekarang memberikan hasilnya bagi upline tersebut. Orang baru mungkin sudah investasikan hanya beberapa ratus dollar dan beberapa jam saja perharinya. Setiap orang memulai dari tempat yang sama, di dasar, dan setiap orang punya kesempatan yang sama untuk membangun downline-nya sendiri.

3. 2. Peraturan yang Mendasari Bisnis Multi Level

. Pemerintah tentu concern membahas setiap jenis bisnis yang berkembang di negaranya, sehingga diciptakanlah Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 32/M-Dag/Per/8/2008 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan Dengan Sistem Penjualan Langsung. Peraturan inilah yang menjadi dasar hukum bagi bisnis MLM di Indonesia. Setiap bisnis MLM harus menjalankan segala bentuk peraturan yang tercantum disini jika tidak ingin dikatakan bisnisnya illegal dan menyalahi peraturan yang berlaku.

Setiap bisnis MLM yang benar juga harus mengikuti keanggotaan di sebuah asosiasi yang bernama APLI yang merupakan singkatan dari Asosiasi Penjual Langsung Indonesia. APLI adalah lembaga yang menaungi perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam industri penjualan langsung di Indonesia. Sebagai organisasi yang berdiri dan bekerja atas kesepakatan bersama para anggotanya, APLI merumuskan Kode Etik yang mengatur para anggotanya agar terjadi persaingan yang sehat sekaligus kerjasama untuk menanggulangi persoalan bersama. APLI adalah anggota World Federation of Direct Selling Associations (WFDSA). Visi, Misi maupun Kode Etik yang dimiliki APLI ini bertujuan memberikan kepuasan dan perlindungan kepada semua pihak yang berkepentingan, memajukan kompetisi yang sehat dalam rangka sistem dunia usaha bebas, dan peningkatan citra umum dari kegiatan Penjualan Langsung.

3. 3. Jasa Assurance

Jasa assurance adalah jasa profesional yang diberikan secara independen yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas informasi bagi para pembuat keputusan (Arens et al., 2009). Jasa assurance menjadi penting karena disediakan oleh pihak yang independen dan bertindak obyektif terhadap informasi yang diuji. Jasa ini dapat diberikan oleh akuntan publik atau para profesional dari bidang-bidang lainnya. Jasa assurance lebih lanjut dapat dikategorikan menjadi jasa atestasi dan jasa assurance lainnya. Untuk mempermudah penjelasan bisa dilihat dalam bagan 3. 1. Pengelompokan Jasa yang bisa dilakukan oleh KAP

Untuk jasa atestasi, akan dijelaskan lebih detail dalam paragraf selanjutnya. Yang dimaksud dengan jasa assurance lainnya yaitu jasa-jasa yang memiliki karakteristik hampir sama dengan jasa atestasi, namun tidak memenuhi definisi formal jasa atestasi. Perbedaannya yaitu auditor tidak harus menerbitkan laporan tertulis. Selain itu, keandalannya adalah tentang tingkat kepercayaan dan kesesuaian informasi, yang mungkin atau belum diasersi oleh pihak lain.

3. 3. 1. Jasa Atestasi

Menurut Arens et al., (2009) dalam bukunya yang berjudul Auditing and Assurance Services, jasa atestasi adalah salah satu jenis jasa assurance yang disediakan kantor akuntan publik (KAP) di mana akuntan publik akan menerbitkan laporan mengenai keandalan (reliability) atas asersi yang dibuat pihak lain. Sedangkan menurut SAT seksi 100, atestasi adalah suatu pernyataan pendapat atau pertimbangan orang yang independen dan kompeten tentang apakah asersi suatu entitas sesuai, dalam semua hal yang material, dengan kriteria yang telah ditetapkan.

Sebelum memberikan jasa atestasi, KAP dan klien akan menyepakati surat perikatan (engagement letter). Selanjutnya, perikatan ini menjadi perikatan atestasi (atestation engagement) yang menurut SAT seksi 100 didefinisikan sebagai perikatan yang di dalamnya praktisi mengadakan perikatan untuk menerbitkan komunikasi tertulis yang menyatakan suatu simpulan tentang keandalan asersi tertulis yang menjadi tanggung jawab pihak lain.

3. 3. 2. Jasa Audit atas Laporan Keuangan

Elder, Beasley dan Arens (2008) mendefinisikan istilah auditing sebagai proses pengumpulan dan pengevaluasian bukti mengenai informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat hubungan antara informasi dengan kriteria yang telah ditetapkan. Audit harus dialkukan oleh pihak yang kompeten, dan independen. Menurut Meigs, Whittington dan Meigs (1992) auditing adalah pemeriksaan terhadap laporan keuangan perusahaan oleh firma akuntan publik independen. Audit terdiri atas pencarian investigasi dari pencatatan akuntansi dan bukti pendukung dari laporan keuangan. Dengan memperoleh pemahaman tentang pengendalian internal perusahaan, inspeksi dokumen, mengobservasi aset, meminta keterangan dengan pihak didalam dan diluar perusahaan, dan menjalankan prosedur audit lain, auditor akan mendapatkan bukti yang dibutuhkan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut menyediakan pandangan lengkap yang wajar dan layak dari posisi laporan keuangan dan aktifitas selama periode audit. Sedangkan menurut Sukrisno Agoes (1996), pengertian auditing adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang insependen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.

Audit merupakan bagian dari jasa atestasi, dimana jasa atestasi adalah salah satu jenis jasa assurance. Jasa assurance adalah jasa profesional independen yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas informasi bagi para pengambil keputusan. Atestasi adalah suatu perikatan atestasi adalah perikatan untuk menerbitkan komunikasi tertulis yang menyatakan suatu simpulan tentang keandalan asersi tertulis yang menjadi tanggung jawab pihak lain. Atestasi (attestation) adalah suatu pernyataan pendapat atau pertimbangan orang yang independen dan kompeten tentang apakah asersi suatu entitas sesuai, dalam semua hal yang material, dengan kriteria yang telah ditetapkan. Asersi (assertion) adalah suatu deklarasi, atau suatu rangkaian deklarasi secara keseluruhan, oleh pihak yang bertanggung jawab atas deklarasi tersebut. Dalam proses audit, laporan audit yang dibuat oleh auditor independen merupakan atestasi. Sedangkan laporan keuangan historis selaku sebuah deklarasi dari manajemen perusahaan merupakan asersi. Perusahaan menggunakan jasa audit dari kantor akuntan publik untuk meningkatkan kualitas informasi dari laporan keuangan perusahaan yang akan dilihat oleh para pengguna laporan keuangan.

3. 3. 2. 1. Tujuan Audit Laporan Keuangan

Menurut SA Seksi 110 paragraf 01, tujuan audit atas laporan keuangan oleh auditor independen pada umumnya adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas seusai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Auditor menemukan bahwa, secara umum, cara yang paling efisien dan efektif untuk melaksanakan audit adalah dengan mendapatkan kombinasi antara keyakinan atas setiap kelas-kelas transaksi dan atas saldo akhir dari akun bersangkutan.

Untuk kelas transaksi, beberapa tujuan audit harus dicapai sebelum auditor dapat menyimpulkan bahwa transaksi-transaksi atas akun tertentu tercatat dengan benar. Hal ini dikenal dengan istilah tujuan audit yang terkait transaksi (trancaction-related audit objectives). Demikian pula atas saldo akhir dari akun, auditor harus mencapai tujuan audit tertentu sebelum dapat menyimpulkan bahwa saldo akhir dari suatu audit adalah wajar dan dicatat dengan benar. Hal ini biasa dikenal dengan istilah tujuan audit yang terkait saldo (balance-related audit objectives). Terdapat dua perbedaan antara tujuan audit terkait transaksi dengan tujuan audit yang terkait saldo. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Perbedaan pertama adalah implikasi dari istilah masing-masing, tujuan audit yang terkait saldo diterapkan untuk akun saldo pada neraca seperti piutang dan persediaan, sedangkan untuk tujuan audit yang terkait transaksi diterapkan pada kelas-kelas transaksi seperti transaksi penjualan dan pembelian persediaan.

b. Perbedaan kedua adalah jumlah komponen tujuan audit. Terdapat delapan komponen tujuan audit yang terkait saldo sedangkan untuk tujuan audit yang terkait transaksi hanya terdapat enam komponen.

3. 3. 2. 1. 1. Tujuan Audit Terkait Transaksi

Tujuan audit yang terkait transaksi ini dapat dijadikan sebagai kerangka kerja audit untuk membantu auditor dalam mengumpulkan bukti-bukti audit kompeten yang memadai atas kelas transaksi tertentu, sesuai dengan standar kerja lapangan audit. Terdapat perbedaan antara tujuan audit yang terkait transaksi secara umum (general transaction-related audit objectives) dengan tujuan audit yang terkait transaksi secara spesifik (specific transaction-related audit objectives). Jika general transaction-related audit objectives dapat digunakan untuk setiap kelas transaksi, maka specific transaction-related audit objectives hanya dapat digunakan untuk kelas transaksi tertentu saja dan merupakan pengembangan dari general transaction-related audit objectives. Berikut ini adalah komponen dari general transaction-related audit objectives:

a. Occurrence (Keterjadian)

Komponen ini untuk mengetahui apakah transaksi-transaksi yang telah tercatat sebelumnya addalah benar-benar terjadi. Jika terdapat pencatatan transaksi yang sebenarnya tidak terjadi, maka tujuan audit ini terlanggar. Jika memang auditor menemukan transaksi yang tercatat sebenarnya tidak terjadi, maka harus dikonfirmasi lebih lanjut kepada klien.

b. Completeness (Kelengkapan)

Komponen ini untuk mengetahui apakah seluruh transaksi yang seharusnya dicatat dalam jurnal telah masuk dalam pencatatan klien. Jika terdapat salah satu transaksi yang belum tercatat, maka tujuan audit ini belum tercapai dan harus dikonfirmasi lebih lanjut kepada klien. Keberadaan dan kelengkapan ini menekankan pada perhatian audit concern yang bertentangan. Jika keberadaan berhubungan dengan kemungkinan terjadinya overstatement oleh klien, maka kelengkapan berhubungan dengan kemungkinan terjadinya understatement oleh klien

c. Accuracy (Keakuratan)

Komponen ini ditujukan untuk mengetahui akurasi atau ketepatan dari informasi dari transaksi akuntansi. Dengan kata lain, Accuracy ditujukan untuk mengetahui apakah nilai transaksi yang sebenarnya telah dicatat dengan benar dan akurat. Jika nilai transaksi penjualan yang dicatat berbeda dengan nilai barang yang diantar dan tercantum pada dokumen pengiriman, maka tujuan audit ini belum tercapai.

d. Posting and Summarization

Komponen ini untuk mengetahui apakah informasi dari transaksi-transaksi tertentu telah dipindahkan ke dalam buku besar atau pencatatan akuntansi lain dengan benar. Jika salah satu nilai transaksi penjualan ternyata diposkan ke buku besar pelanggan yang berbeda, maka tujuan ini belum terpenuhi.

e. Classification (Klasifikasi)

Komponen ini untuk mengetahui apakah transaksi-transaksi yang ada telah diklasifikasikan pada akun yang seharusnya. Contoh kesalahan yang mungkin terjadi antara lain, mencatat penjualan kredit sebagai penjualan tunai, mencatat penjualan aset tetap sebagai pendapatan, dan lainnya.

f. Timing

Komponen ini untuk mengetahui apakah transaksi dicatat pada tanggal terjadinya. Jika terdapat transaksi yang tidak dicatat pada tanggal terjadinya transaksi tersebut, maka tujuan ini belum terpenuhi. Setelah general transaction-related audit objectives telah ditentukan, specific transaction related audit objectives untuk setiap kelas transaksi dapat dibangun

3. 3. 2. 1. 2. Tujuan Audit Terkait Saldo

Sama halnya dengan tujuan audit yang terkait transaksi, tujuan audit yang terkait saldo ini juga dijadikan sebagai kerangka kerja audit oleh auditor dalam mengumpulkan bukti-bukti audit kompeten yang memadai. Tujuan audit yang terkait saldo ini juga terdiri dari tujuan audit yang terkait saldo secara umum (general balance-related audit objectives) dan tujuan audit yang terkait saldo secara spesifik (specific balance-related audit objectives). Karena proses audit yang dilakukan, tujuan audit terkait saldo biasanya dipakai untuk saldo akhir pada akun neraca, seperti piutang, persediaan atau wesel bayar. Namun tujuan audit terkait saldo pun terkadang digunakan pula untuk akun pada laporan laba rugi. Biasanya untuk transaksi tidak rutin dan biaya tak terduga seperti biaya pengacara atau biaya perawatan dan perbaikan. Berikut ini adalah komponen dari tujuan audit terkait saldo:

a. Existence (Keberadaan)

Komponen ini untuk menekankan apakah jumlah nilai suatu akun yang tercatat pada laporan keuangan memang seharusnya dicatat. Jika tercatat nilai transaksi yang sebenarnya tidak terjadi, maka tujuan ini belum terpenuhi.

b. Completeness (Kelengkapan)

Komponen ini untuk mengetahui apakah nilai-nilai transaksi yang seharusnya tercatat telah masuk dalam pencatatan. Jika terdapat nilai transaksi yang seharusnya dicatat tetapi tidak dicatat, maka tujuan ini belum terpenuhi. Sama halnya dengan tujuan audit yang terkait transaksi, keberadaan dan kelengkapan pada tujuan audit terkait dengan saldo ini juga menekankan pada audit concern yang berlawanan. Jika keberadaan berhubungan dengan kemungkinan terjadinya overstatement oleh klien, maka kelengkapan berhubungan dengan kemungkinan terjadinya understatement oleh klien.

c. Accuracy (Keakuratan)

Komponen ini untuk mengetahui apakah nilai saldo yang seharusnya tercatat telah dicatat dengan akurat dan benar secara matematis. Jika terdapat nilai yang tercatat dengan tidak benar, maka tujuan audit ini belum terpenuhi.

d. Classification (Klasifikasi)

Komponen ini untuk mengetahui apakah akun yang tercatat pada catatan klien diklasifikasikan pada akun-akun yang seharusnya. Klasifikasi disini termasuk didalamnya subklasifikasi, seperti klasifikasi jangka pendek dan jangka panjang pada piutang dan hutang.

e. Cutoff (Pisah Batas)

Komponen ini untuk mengetahui apakah transaksi-transaksi telah dicatat di periode akuntansi yang tepat. Transaksi-transaksi yang paling mungkin tidak tercatat pada periodenya yang benar adalah transaksi-transaksi yang terjadi di dekat akhir periode akuntansi.

f. Detail Tie-in

Komponen ini untuk menentukan apakah nilai-nilai yang tercatat pada laporan keuangan telah cocok dengan angka yang dicatat pada general ledger atau master file yang telah dibuat sebelumnya oleh klien.

g. Realizable Value

Komponen ini lebih menekankan pada apakah nilai aset telah dicatat pada saldo bersihnya, dengan kata lain telah dikurangi dengan penurunan dari nilai perolehan (historical cost) ke nilai sebenarnya saat ini (realizable value).

h. Rights and Obligation

Kebanyakan aset harus dimiiliki secara sah terlebih dahulu baru dapat diakui dan dicatat, begitu juga dengan kewajiban (liability). Rights selalu dikaitkan dengan aset dan obligation dikaitkan dengan kewajiban (liability). Selain tujuan audit yang terkait transaksi dan terkait saldo diatas, terdapat tujuan audit lain yang tidak kalah pentingnya untuk dicapai dalam proses audit, yaitu Presentation and Disclosure-Related Audit Objectives. Untuk memenuhi tujuan presentation and disclosure ini, auditor menguji untuk memastikan bahwa setiap detail akun-akun neraca dan laporan laba rugi telah dilaporkan dengan benar dalam laporan keuangan.

3. 3. 3. Bukti Audit

Bukti audit merupakan hal mendasar yang dibutuhkan dalam proses audit. Dalam mengambil keputusan untuk mengeluarkan pendapat atas laporan keuangan perusahaan auditee, auditor independen harus ditunjang dengan bukti audit yang handal dan memadai. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2001), bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan dan konsfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan. Sebagian besar pekerjaan auditor independen dalam rangka memberikan penapat atas laporan keuangan terdiri dari usaha untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti audit. Ukuran keabsahan (validity) bukti tersebut untuk tujuan audit tergantung pada pertimbangan auditor independen. Menurut Elder, Beasley dan Arens (2008) terdapat delapan tipe bukti audit yang dapat digunakan oleh auditor. Auditor dapat menggunakan kombinasi antara bukti audit yang ada untuk membuat kesimpulan atas sesuatu akun. Bukti audit tersebut bisa didapatkan oleh auditor saat melakukan prosedur audit yang mereka terapkan. Tipe-tipe bukti audit tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pemeriksaan fisik (physical examination)

Pemeriksaan fisik adalah inspeksi atau penghitungan yang dilakukan oleh auditor terhadap tangible assets dari perusahaan. Tipe audit ini lebih sering dilakukan terhadap akun kas dan persediaan, namun cara ini juga dapat digunakan untuk akun lainnya juga. Pemeriksaan fisik ditujukan untuk membuktikan bahwa aset perusahaan benar-benar ada (exsistance) dan tujuan lainnya adalah mengetahui apakah aset yang ada telah tercatat (completeness).

b. Konfirmasi (confirmation)

Konfirmasi dideskripsikan sebagai penerimaan respon dari pihak ketiga yang independen baik berupa lisan maupun tulisan untuk membuktikan akurasi dari informasi yang diminta oleh auditor. Permintaan konfirmasi dibuat untuk klien, dan pihak ketiga yang dikonfirmasi diminta oleh klien untuk merespon konfirmasi secara langsung ke auditor. Karena konfirmasi datang dari sumber yang independen dari klien, bukti audit ini dianggap handal dan merupakan jenis bukti audit yang sering digunakan. Didalam proses audit, dikenal dua jenis konfirmasi yaitu konfirmasi positif dan konfirmasi negatif. Konfirmasi positif ditanyakan kepada pihak ketiga untuk direspon dalam semua keadaan. Jika auditor tidak menerima respon dari sebuah konfirmasi positif, biasanya dikirim konfirmasi kedua atau ketiga bahkan lebih dalam kasus tertentu. Jika usaha ini gagal dan dinilai terlalu memakan biaya, biasanya auditor akan melakukan prosedur alternatif lain. Sedangkan dalam jenis konfirmasi negatif, respon diharapakan akan diterima hanya jika informasi yang diberikan adalah salah, dan tidak ada tambahan prosedur lain jika tidak ada respon atas konfirmasi tersebut. Sebagai hasil dari perbedaan tersebut, konfirmasi negatif memiliki tingkat keandalan yang lebih rendah dibandingkan dengan konfirmasi positif.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah inspeksi yang dilakukan oleh auditor terhadap dokumen dan pencatatan klien untuk membenarkan informasi yang dimasukan dan seharusnya dimasukan ke laporan keuangan. Dokumen-dokumen yang diperiksa oleh auditor adalah pencatatan yang digunakan oleh klien dalam menyediakan informasi untuk melakukan bisnisnya secara teratur, dalam berbentuk kertas, elektronik, atau media lainnya. Dokumen dapat diklasifikasikan sebagai dokumen internal dan dokumen eksternal, Dokumen internal dipersiapkan dan digunakan dalam organisasi klien dan tidak sampai ke pihak luar. Sedangkan dokumen eksternal dipersiapkan oleh pihak di luar organisasi klien, pihak ini adalah pihak yang bertransaksi dengan klien, tetapi dokumen tersebut dipegang oleh klien atau setidaknya mudah diakses oleh klien.

d. Prosedur analitis (analytical procedures)

Prosedur analitis dilakukan dengan membandingkan dan menghubungkan data laporan keuangan yang diaudit dengan data penting lainnya, seperti data tahun lalu, data industri, maupun data perusahaan lain yang sejenis. Prosedur analitis dipandang sangat penting hingga Auditing Standard Board menyatakan bahwa prosedur analitis dibutuhkan dalam semua proses audit mulai dari perencanaan hingga penyelesaian audit. Prosedur analitis dapat digunakan untuk beberapa maksud yang berbeda seperti untuk memahami bisnis dan industri klien, mengukur kemampuan entitas untuk terus going concern, dan mengindikasikan keberadaan dari kemungkinan salah saji dalam laporan keuangan. Selain itu Prosedur analitis dapat mengurangi detailed audit test.

e. Tanya jawab dengan klien (inquiry)

Tanya jawab merupakan proses memperoleh informasi baik tertulis maupun lisan dari klien dalam menjawab pertanyaan yang diajukan auditor. Walaupun bukti audit dari hasil tanya jawab ini dapat dipertimbangkan, namun biasanya dianggap belum meyakinkan karena sumber informasi bukan berasal dari sumber yang independen dan dapat saja bias karena kepentingan klien.

f. Rekalkulasi

Penghitungan ulang mencakup memeriksa ulang penghitungan yang dilakukan klien. Penghitungan ulang ini terdiri dari tes terhadap penghitungan akurasi aritmatika dan termasuk prosedur-prosedur seperti perpanjangan tagihan penjualan dan persediaan, penambahan pada jurnal dan pencatatan buku besar, pengecekan terhadap penghitungan beban depresiasi dan beban dibayar dimuka.

g. Reperformance

Auditor independen melakukan tes atas prosedur akuntansi atau kontrol yang merupakan bagian atas akuntansi entitas dan sistem pengendalian internal. Sebagai contoh, auditor dapat membandingkan harga yang tertera pada faktur dengan daftar harga yang digunakan perusahaan, atau dapat melakukan reperform terhadap umur piutang.

h. Observasi

Observasi adalah penggunaan indera untuk mengukur akitivitas tertentu dari klien. Dengan persetujuan dari klien, auditor dapat memiliki banyak kesempatan untuk menggunakan indera-nya, seperti penglihatan, pendengaran, peraba, dan penciuman, untuk mengevaluasi sesuatu secara luas. Auditor dapat melakukan tur mengitari pabrik untuk mendapatkan pandangan umum dari fasilitas klien, atau mengamati pegawai dalam melakukan tugas akuntansi untuk menentukan apakah pegawai yang ditugaskan melakukan tanggung jawabnya dengan baik atau tidak.

3. 3. 4. Tahapan Audit Laporan Keuangan

Auditor harus memperoleh bukti audit yang memadai untuk membantu semua komponen tujuan audit sehingga auditor pada akhirnya bisa mengeluarkan pendapatnya tentang laporan keuangan yang diaudit. Untuk bisa melakukan itu, auditor harus mengikuti proses audit. Elder, Beasley dan Arens (2008) mendefinsikan proses audit sebagai metodologi pelaksanaan suatu audit untuk menjamin bahwa bukti yang dikumpulkan memadai dan kompeten, serta seluruh tujuan audit dapat terpenuhi. Adapun proses audit dibagi kedalam empat fase atau tahap sebagai berikut:

3.3.4.1 Perencanaan dan Desain Pendekatan Audit

Pada tahap ini auditor merancang desain program audit yang ditujukan untuk mendapatkan bukti audit yang diinginkan dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas waktu serta biaya. Beberapa proses yang dilakukan pada perencanaan audit adalah:

a. Memahami Entitas Bisnis dan Lingkungan Industri Klien

Untuk dapat mengukur risiko salah saji dari laporan keuangan dengan baik dan untuk mengintepretasikan informasi yang diperoleh dari proses audit, Auditor sangat perlu memahami lingkungan bisnis dan industri klien. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam memahami bisnis dan industri adalah pemahaman lingkungan industri dan eksternal, pemahaman operasi dan proses bisnis, hingga pemahaman strategi dan objektif klien.

b. Memahami Pengendalian Internal dan Menetapkan Risiko Kontrol

Pemahaman atas pengendalian internal klien dibutuhkan auditor untuk menentukan besarnya pengendalian risiko yang dimiliki klien. Auditor mengidentifikasi pengendalian internal dan mengevaluasi efektifitas dari pengendalian tersebut. Proses identifikasi dan evaluasi itu biasa disebut assessing control risk. Pengendalian internal yang lemah, akan memperbesar pengendalian risiko dimana akan mempengaruhi besarnya bukti audit yang diperlukan dan prosedur audit yang dilakukan selama proses audit.

c. Menetapkan materialitas dan menilai risiko salah saji

Auditor menggunakan pemahaman atas strategi bisnis dan industri klien, seperti hal-nya efektifitas pengendalian, adalah untuk mengukur risiko terdapatnya salah saji pada laporan keuangan. Materialitas merupakan besaran kesalahan atau salah saji pada informasi yang dapat mempengaruhi pertimbangan dalam mengambil suatu keputusan. Menetapkan batasan materialitas diperlukan untuk menentukan jumlah sampel bukti audit yang akan dibutuhkan.

3.3.4.2 Melakukan Pengujian Terhadap Pengendalian dan Pengujian Subtantif Transaksi

Tahapan selanjutnya adalah melakukan pengujian substantif, yaitu prosedur yang dirancang untuk menguji apakah tujuan audit terkait transaksi sudah terpenuhi atau belum. Fase ini merupakan bagian dari tahapan pekerjaan lapangan audit (fieldwork audit). Dalam fase ini biasanya dilakukan pengujian pengendalian (test of control), yaitu prosedur audit untuk menguji efektivitas pengendalian internal klien sehingga bisa didapatkan pula perkiraan besarnya risiko pengendalian (control risk). Ditahap ini kemudian auditor melaksanakan pengujian substantif atas transaksi (substantive test of transaction) yang merupakan pengujian atas kesalahan saji secara material untuk menentukan apakah tujuan audit terkait transaksi telah tercapai untuk setiap transaksi.

3.3.4.3 Melakukan Prosedur Analitis dan Pengujian Atas Detail Saldo

Terdapat dua kategori umum dalam tahap audit ini yaitu prosedur analitis dan pengujian atas detail saldo. Prosedur analitis adalah menggunakan perbandingan dan hubungan saldo akun untuk mengukur apakah saldo akun yang bersangkutan terlihat wajar. Dengan melakukan prosedur ini, kita dapat melihat ketidakwajaran atau perubahan yang signifikan dalam kinerja klien. Prosedur analitis mencakup perhitungan rasio dari data klien tahun berjalan untuk dibandingkan dengan rasio periode sebelumnnya, data industrinya, data non-keuangan, atau data lain yang berhubungan.

Pengujian atas detail saldo adalah prosedur spesifik yang dimaksudkan untuk menguji salah saji dalam saldo yang ada pada laporan keuangan. Pengujian atas detail saldo akhir sangat penting untuk dilaksanakan dalam audit karena sebagian besar bukti audit yang diperoleh dari prosedur ini bersumber dari pihak ketiga yang independen dari klien, dimana bukti tersebut dipandang memiliki kualitas yang handal sebagai bukti audit.

3.3.4.4 Menyelesaikan Audit dan Mengeluarkan Laporan Audit

Saat auditor telah melaksanakan semua prosedur audit, penting bagi auditor untuk mengkombinasikasikan informasi yang telah diperoleh untuk mencapai suatu kesimpulan mengenai kewajaran laporan keuangan. Setelah semua prosedur pengujian dalam audit selesai dikerjakan, artinya auditor telah mengumpulkan bukti audit sehingga telah menuju kepada kesimpulan sebagai dasar untuk mengeluarkan pendapat (opini) audit. Namun pada tahap ini masih ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh auditor. Auditor harus menelaah kemungkinan adanya contingent liabilities dan juga menelaah subsequent events yang ada. Contingent liabilities adalah kewajiban yang timbul di masa mendatang akibat suatu aktivitas yang sudah terjadi dan nilainya tidak dapat dipastikan. Sedangkan subsequent events adalah kejadian-kejadian yang terjadi setelah tanggal neraca namun sebelum tanggal dikeluarkannya laporan audit. Setelah melakukan prosedur-prosedur tahap akhir dari proses audit, selanjutnya auditor dapat mengeluarkan laporan audit yang berisi pendapat dari auditor tentang kewajaran penyajian atas laporan keuangan klien. Dalam SPAP (Ikatan Akuntan Indonesia, 2001) pada Pernyataan Standar Audit (PSA) SA seksi 508 dijelaskan berbagai tipe pendapat auditor, yaitu:

a. Pendapat wajar tanpa pengecualian.

Pendapat wajar tanpa pengecualian menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Bahasa penjelasan ditambahkan dalam laporan auditor bentuk baku. Keadaan tertentu mungkin mengharuskan auditor menambahkan suatu paragraf penjelasan (atau bahasa penjelasan yang lain) dalam laporan auditnya.

b. Pendapat wajar dengan pengecualian.

Pendapat wajar dengan pengecualian, menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan. Pendapat ini dapat dikeluarkan karena ada keterbatasan scope of audit dan kegagalan entitas dalam mengikuti standar akuntansi yang berlaku umum. c. Pendapat tidak wajar. Pendapat tidak wajar menyatakan bahwa laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Pendapat ini dikeluarkan dalam kondisi terdapat pembatasan dalam audit.

d. Pernyataan tidak memberikan pendapat.

Pernyataan tidak memberikan pendapat menyatakan bahwa auditor tidak menyatakan pendapat atas laporan keuangan. Pendapat ini dikeluarkan ketika ditemukan ketidakwajaran yang material setelah proses audit.

3. 4. Definisi Pendapatan

Dalam PSAK No.23 tentang pendapatan, pada paragraf 6 dijelaskan bahwa pendapatan didefinisikan sebagai peningkatan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aset atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal. Penghasilan (income) meliputi pendapatan (revenue) maupun keuntungan (gain). Pendapatan adalah penghasilan yang timbul dari aktivitas perusahaan yang biasa dan dikenal dengan sebutan yang berbeda seperti penjualan, penghasilan jasa (fees), bunga, dividen, royalti dan sewa. Tujuan Pernyataan ini adalah untuk mengatur perlakuan akuntansi untuk pendapatan yang timbul dari transaksi dan peristiwa ekonomi tertentu. Kieso, Donald, dan Weygandt (2007) mendefinisikan pendapatan sesuai dengan FASB No.6 paragraf 79 yaitu arus masuk atau penambahan lainnya pada suatu aktiva dari satuan usaha atau penyelesaian kewajiban-kewajiban atau kombinasi kedua-duanya dari pengiriman atau produksi barang, pemberian jasa atau kegiatan lain yang merupakan kegiatan utama dari satuan usaha yang berkesinambungan. Permasalahan utama dalam akuntansi untuk pendapatan adalah menentukan saat pengakuan pendapatan. Pendapatan diakui bila besar kemungkinan manfaat ekonomi masa depan akan mengalir ke perusahaan dan manfaat ini dapat diukur dengan andal. Pernyataan ini mengidentifikasikan keadaan yang memenuhi kriteria tersebut agar pendapatan dapat diakui. Pernyataan ini juga memberikan pedoman praktis dalam penerapan kriteria tersebut. Akuntansi pendapatan dapat timbul dari transaksi dan peristiwa berikut ini:

a. Penjualan barang.

b. Penjualan Jasa.

c. Penggunaan aktiva perusahaan oleh pihak-pihak lain yang menghasilkan bunga, royalti dan dividen.

Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa penjualan, baik barang maupun jasa, adalah transaksi atau peristiwa yang dapat menimbulkan akuntansi pendapatan. Dalam laporan ini, penulis membatasi bahasan hanya pada penjualan barang dan jasa saja. Barang yang dimaksud adalah meliputi barang yang diproduksi perusahaan untuk dijual dan barang yang dibeli untuk dijual kembali, seperti barang dagang yang dibeli pengecer atau tanah dan properti lain yang dibeli untuk dijual kembali. Sedangkan Penjualan jasa biasanya menyangkut pelaksanaan tugas yang secara kontraktual telah disepakati untuk dilaksanakan selama suatu periode waktu yang disepakati oleh perusahaan. Jasa tersebut dapat diserahkan selama satu periode atau selama lebih dari satu periode.

3. 4. 1. Pengakuan Pendapatan dalam Penjualan Barang

Berdasarkan PSAK No.23 paragraf 13, pendapatan dari penjualan barang harus diakui bila seluruh kondisi berikut ini terpenuhi:

a. Perusahaan telah memindahkan risiko secara signifikan dan telah memindahkan manfaat kepemilikan barang kepada pembeli.

b. Perusahaan tidak lagi mengelola atau melakukan pengendalian efektif atas barang yang dijual.

c. Jumlah pendapatan tersebut dapat diukur dengan andal.

d. Besar kemungkinan manfaat ekonomi yang dihubungkan dengan transaksi akan mengalir kepada perusahaan tersebut.

e. Biaya yang terjadi atau yang akan terjadi sehubungan dengan transaksi penjualan tersebut dapat diukur dengan andal.

Penentuan kapan suatu perusahaan telah memindahkan risiko signifikan dan manfaat kepemilikan kepada pembeli memerlukan pengujian keadaan transaksi tersebut. Pada umumnya, pemindahan risiko dan manfaat kepemilikan bersamaan waktunya dengan pemindahan hak milik atau pemindahan penguasaan atas barang tersebut kepada pembeli. Hal ini terjadi pada kebanyakan penjualan eceran. Dalam hal lain, pemindahan risiko dan manfaat kepemilikan terjadi pada saat yang berbeda dengan pemindahan hak milik atau pemindahan penguasaan atas barang tersebut. Jika perusahaan tersebut menahan risiko signifikan dari kepemilikan, transaksi tersebut bukanlah suatu penjualan dan pendapatan tidak diakui. Jika perusahaan hanya menahan risiko tidak signifikan atas kepemilikan, transaksi tersebut adalah suatu penjualan dan pendapatan diakui

3. 5. Piutang Usaha

Kieso, Weygandt dan Warfield (2007) mendefinisikan piutang sebagai klaim uang, barang atau jasa yang ditujukan terhadap pelanggan dan yang lain. Jika melihat dari definisi diatas, diketahui bahwa piutang dalam arti luas merupakan tagihan atas segala sesuatu hak perusahaan baik berupa uang, barang maupun jasa atas pihak ketiga setelah perusahaan melaksanakan kewajibannya, sedangkan secara sempit piutang diartikan sebagai tagihan yang hanya dapat diselesaikan dengan diterimanya uang di masa yang akan datang.

Pada umumnya piutang timbul ketika perusahaan menjual barang atau jasa secara kredit, sehingga berhak atas penerimaan kas di masa mendatang, yang prosesnya dimulai dari pengambilan keputusan untuk memberikan kredit kepada langganan, melakukan pengiriman barang, penagihan dan akhirnya menerima pembayaran. Selain aktifitas penjualan, piutang dapat pula timbul dari transaksi lain seperti ketika perusahaan meminjamkan uang ke pihak lain atau ketika perusahaan menerima promes atau wesel. Piutang ini dikenal dengan istilah notes receivable

3. 5. 1. Klasifikasi dan Penyajian Piutang Usaha

Pelanggan biasanya memiliki hutang kepada perusahaan atas sejumlah barang atau jasa yang telah diserahkan. Perusahaan mengklasifikasikan piutang ini sebagai piutang dagang (trade receivables). Piutang dagang ini biasanya didominasi oleh piutang dan notes receivables. Selain piutang dagang, ada pula piutang bukan dagang (nontrade receivables). Piutang bukan dagang dapat timbul dari banyak variasi transaksi. Beberapa contoh dari piutang bukan dagang adalah uang dibayar dimuka untuk pegawai dan anggota perusahaan, uang muka kepada perusahaan anak, deposit yang dibayarkan untuk menutupi kerugian atau kerusakan potensial, deposit yang dibayarkan sebagai jaminan dari kinerja, serta piutang bunga dan dividen. Dalam tujuan penyajian, perusahaan harus mengklasifikasikan piutang menjadi dua yaitu piutang lancar atau non lancar. Piutang dapat diklasifikasikan lancar atau tidak dilihat dari jangka waktu piutang. Jika perusahaan menganggap sebuah piutang dapat ditagih dalam waktu setahun atau selama periode operasi, sebuah piutang dapat dikategorikan sebagai piutang lancar (short term). Sedangkan piutang lain yang tidak masuk dalam kategori itu, diklasifikasikan kedalam piutang non-lancar/jangka panjang (long-term). Berdasarkan PSAK No.1 tentang penyajian laporan keuangan, diketahui bahwa akun piutang disajikan dan dilaporkan dalam pos neraca pada laporan keuangan sebagai bagian dari aktiva perusahaan dan diklasifikasikan kedalam aktiva lancar. Piutang tersebut diklasifikasikan sebagai aset lancar karena sifat dan likuiditasnya. Selain itu piutang disubklasifikasikan menjadi piutang usaha dan piutang lain-lain berdasarkan sifatnya. Piutang pemegang saham dan piutang perusahaan afiliasi harus dilaporkan tersendiri (tidak digabung dengan perkiraan piutang usaha) karena sifatnya yang berbeda. Pemisahan piutang pemegang saham dan piutang perusahaan afiliasi dari piutang usaha adalah karena sifat transaksinya yang berbeda yaitu transaksi piutang dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa seperti yang diatur dalam PSAK No. 7 tentang pengungkapan pihak yang memiliki hubungan istimewa.

3. 5. 2. Penilaian Piutang

Berdasarkan PSAK No.10 paragraf 9 tentang transaksi dalam mata uang asing dijelaskan bahwa pos aset dan kewajiban moneter dalam mata uang asing dilaporkan ke dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs tanggal neraca. Apabila terdapat kesulitan dalam menentukan kurs tanggal neraca, maka dapat digunakan kurs tengah Bank Indonesia sebagai indikator yang obyektif. Piutang usaha tergolong kedalam akun moneter, sehingga suatu perusahaan memiliki piutang belum terbayar dalam mata uang asing, nilai tersebut harus ditranslasikan dan dilaporkan dalam mata uang Rupiah. Dalam pelaporan piutang terdapat dua hal penting yaitu klasifikasi dan penilaian dalam neraca. Klasifikasi mencakup menentukan jangka waktu terselesaikannya sebuah piutang usaha. Jika piutang usaha ditetapkan akan selesai dalam satu tahun atau dalam satu periode operasi dikategorikan kedalam piutang lancar, sedangkan sisanya diklasifikasikan sebagai piutang jangka panjang (long-term) Perusahaan menilai dan melaporkan piutang lancar dalam nilai bersih yang dapat direalisasi (net realizable value). Artinya perusahaan harus menyajikan saldo piutangnya sesuai dengan nilai bersih yang dapat direalisasi yang bisa didapatkan perusahaan dari piutang tersebut. Dalam menentukan nilai realisasi bersih dibutuhkan perkiraan dari piutang tak tertagih dan juga retur atau penyisihan yang akan ditanggung. Menurut Kieso, Weygandt, dan Warfield (2007), terdapat dua metode untuk pencatatan piutang yang tidak dapat tertagih, yaitu:

a. Direct write-off method yaitu metode dimana tidak dilakukan penjurnalan untuk penghapusan piutang sebelum piutang tersebut benar-benar dianggap tidak dapat ditagih, setelah piutang tersebut tidak dapat ditagih maka dilakukan pencatatan atas tidak tertagihnya piutang tersebut dengan mengkreditkan piutang dan mendebit bad debt expenses

b. Allowance method yaitu metode yang mencatat perkiraan jumlah piutang yang tidak dapat tertagih dari seluruh piutang yang masih beredar dengan membuat penyisihan piutang ragu-ragu. Penyisihan tersebut dapat dibuat berdasarkan persentase dari penjualan (percentage of sales) yang merupakan pendekatan laporan laba rugi (income statement approach) ataupun persentase dari piutang berdasarkan aging schedule (daftar umur piutang) yang merupakan pendekatan neraca (balance sheet approach). Metode ini mencatat bad debt expense pada kolom debit, dan mencatat penyisihan piutang ragu-ragu (allowance for doubtful account) tersebut pada kolom kredit untuk mengurangi nilai piutang, jadi akun tesebut merupakan akun pengurang piutang atau contra account dari piutang.